Berkenalan Dengan Mahasiswa Berprestasi UI yang Sukses Jadi Atlet Sepatu Roda Nasional

Berkenalan Dengan Mahasiswa Berprestasi UI yang Sukses Jadi Atlet Sepatu Roda Nasional

Stigma berprestasi di olahraga akan susah berprestasi di akedimik mampu ditepis oleh atlet sepatu roda nasional, Barijani Mahesa Putra. Mahesa berhasil membuktikan dirinya mampu menuai presfasi baik di bidang olahraga atau akademik pendidikan. Pemuda yang masih menempuh pendidikan di Universitas Indonesia (UI), program studi (Prodi) Hubungan Masyarakat (Humas) ini berhasil meraih gelar Mahasiswa Berprestasi UI 2022 tingkat program Vokasi. Pria kelahiran 23 Januari 2002 ini juga akan mewakili kampusnya dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Nasional program Diploma 2022. Tahapan ini meliputi seleksi wilayah dan seleksi nasional. “Saya ingin merubah stigma yang mengatakan bahwa, atlet hanya dapat berprestasi di bidang non akademik. Hal itu juga menjadi motivasi saya untuk menghapuskan stigma tersebut,” tutur Mahesa panggilan akrabnya. Prestasinya di bidang non akademik memang pantas diacungi jempol. Mahesa tercatat sebagai atlet sepatu roda DKI Jakarta dengan berbagai prestasi tingkat nasional dan internasional. Prestasi non akademik yang pernah ia torehkan diantaranya Juara 1 Team Time Trial (TTT) 10 km Putra dalam PON XX Papua 2021; Juara 1 Sprint 500M+D Putra dalam PON XX Papua 2021; meraih 2 emas, 2 perak dan 1 perunggu dari lima nomor pertandingan cabang sepatu roda di PON XX Papua 2021; Juara 1 3000m Rellay JIRTA Friendly Competition 2021. Di tingkat internaional diantaranya, menyumbangkan 2 medali emas dan 1 perak pada Malaysia Open 2013; 1 medali perak dan 1 medali perunggu pada Malaysia Open 2015; dan 1 medali emas pada Half Marathon 21km di New York, Amerika Serikat pada 2018. Ia juga beberapa kali mewakili Indonesia dalam kompetisi sepatu roda, seperti World Roller Games di Barcelona, Spanyol pada 2019 dan World Championship di Heerde, Belanda pada 2018. Tahun ini Mahesa terpilih jadi salah seorang atlet sepatu roda yang bakal berkompetisi ke Asian Games Hangzhou tahun 2023. Perjalananya menjadi atlet sepatu roda tak terlepas dari dukungan dan doa kedua orang tuanya dan juga latihan kerasnya. Sejak 2013 Mahesa telah fokus berlatih itensif di cabang olahraga sepatu roda. Hingga pada tahun 2016 lalu ia terpilih sebagai atlet DKI Jakarta cabor sepatu roda. Segudang prestasi yang ia raih merupakan hasil kerja keras Mahesa yang mampu menyeimbangkan kehidupan kampus dan kegemarannya berolahraga.

Jaring Atlet Muda Sepatu Roda, WRC Jadi Ajang Unjuk Kemampuan

Jaring Atlet Muda Sepatu Roda, WRC Jadi Ajang Unjuk Kemampuan

Sebanyak 126 atlet muda sepatu roda mengikuti kejuaraan Wonosobo Roller Scate Competition (WRC) yang berlangsung di halaman Gedung Sasana Adipura, Minggu (27/3/2022). Para atlet sepatu roda yang mengikuti kompetisi itu terlihat antusias, mereka berpacu dan menjaga keseimbangan saat mengenakan sepatu roda. Ketua Pantia WRC, Sukariyo mengatakan, event lomba sepatu roda tersebut merupakan yang pertama kali digelar di Wonosobo. Kejuaraan WRC sendiri memang diperuntukan untuk kalangan pelajar mulai dari TK, SD hingga SMA. “Tujuannya menggali kemampuan atlet sepatu roda di Kota Wonosobo sehingga nantinya bisa diketahui bibit-bibit atlet yang berpotensi untuk diikut sertakan ke berbagai kejuaran yang berskala nasional,” ujar pria yang juga menjabat sebagai ketua Sepatu Roda Wonosobo Asri Team (SWAT). Sukariyo menyebut, pada ajang kali ini ada 3 kelas yang pertandingkan, yakni kelas pemula, kelas standard dan kelas speed. “Untuk jarak tempuhnya sendiri pada kelas pemula adalah 100 meter dan 200 meter, untuk kelas standard 500 meter dan 1000 meter, sedangkan pada kelas speed akan menempuh jarak 5000 meter, 1000 meter dan 5000 meter,” imbuhnya. Melalui ajang WRC tersebut, Sukariyo berharap akan mampu melahirkan atlet-atlet muda sepatu roda yang nantinya bisa mengharumkan nama Kabupaten Wonosobo dikancah Nasional. Salah satu peseta, Vincent asal Desa Bomerto mengaku deg-degkan saat akan mengikuti lomba. Namun ia mengaku optimis lomba pertama yang akan dilalui bisa berjalan lancar. Sementara itu, Vira yang merupakan orang tua dari salah satu peserta mengaku sangat antusias mendukung anaknya dalam mengikuti event ini, pasalnya olahrga sepatu roda bisa menjadi terapi sekaligus meminimalisir anak agar tidak kecanduan dengan gadget.

Cerita Naura Peraih 5 Emas Sepatu Roda PON XX

Cerita Naura Peraih 5 Emas Sepatu Roda PON XX

Luar biasa. Mungkin ungkapan tersebut yang cocok diberikan untuk Naura Rahmadija Hartanti. Atlet yang baru berusia 15 tahun tersebut sukses menyabet lima emas dari lima nomor yang diperlombakan di cabang olahraga sepatu roda yang diikutinya di ajang olahraga terbesar di Tanah Air, yaitu Pekan Olahraga Nasional XX Papua pada 2-15 Oktober 2021. Di PON Papua, Naura Rahmadija Hartanti atau yang akrab disapa Ola berlaga di lima nomor, yaitu sprint 1.000 meter putri, sprint 500 meter putri, relay 3.000 meter putri (beregu), maraton 42.000 meter putri, dan team time trial 10.000 meter putri (beregu). Semua emas dibabat habis olehnya. ”Alhamdulillah semuanya dapat emas,” ujar Ola, Selasa (19/10/2021), dikutip dari Kompas.id. Perolehan itu membuat Provinsi DKI Jakarta yang diwakilinya menjadi juara umum cabang olahraga sepatu roda di PON Papua. ”Seneng banget, bangga banget, puas. Capek yang selama ini aku jalanin, semuanya terbayar. Hasil enggak mengkhianati usaha,” kata Ola. Sejak awal, Ola memang memasang target tinggi untuk setiap nomor yang diikutinya. Target tinggi atau menjadi yang terbaik itu sudah menjadi prinsip Ola sejak mulai serius menekuni olahraga sepatu roda meski perjalanan untuk memberikan yang terbaik tidak selalu mudah. ”Untuk persiapan PON itu sekitar dua tahun. Harusnya setahun, karena kehambat pandemi, jadinya dua tahun,” kata Ola yang mulai masuk pelatda tahun 2017 saat usianya 11 tahun. Karena pandemi, Ola sempat sampai harus latihan sendiri di rumah melakukan program-program yang diberikan kepadanya. Baginya, hal itu tidak mudah. ”Latihan di rumah itu tantangannya diri kita sendiri. Karena kita dikasih program, tanggung jawabnya ke diri sendiri. Itu susah karena pasti ada cheating-cheating-nya dan lain-lain,” kata Ola yang sempat cedera di masa-masa mempersiapkan diri menghadapi PON. PON yang kemudian mundur karena pandemi memberi waktu bagi Ola untuk menyembuhkan cedera pada kakinya. Empat bulan menjelang PON, jadwal latihan semakin padat. Ola dan atlet-atlet lain harus masuk ke training camp. Mereka dikumpulkan di sebuah mes agar lebih fokus menghadapi PON. ”Itu mulai sangat intensif latihannya. Pagi, siang, malam. Sehari tiga kali latihan,” kata Ola. Selama masa ”karantina”, Ola bergaul dengan sesama atlet yang usianya lebih senior darinya, rata-rata mahasiswa. Namun, mereka cocok-cocok saja. Meski harus jauh dari rumah, Ola sangat menikmati seluruh proses yang tak hanya mematangkan fisik, tetapi juga kondisi mental tersebut. Dalam setiap kompetisi, peperangan psikologis (psy war) kerap kali justru memberi pengaruh besar. ”Sebenarnya kalau mental, biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, jadi bisa kena ke kita. Tapi aku kalau sama lingkungan itu kayak ya udah terserah mau apa. Yang penting aku ngelakuin buat aku sendiri, yang terbaik buat aku,” tutur Ola. Bekal-bekal itu kemudian dia bawa saat berlaga, termasuk berupaya untuk selalu mengendalikan diri di lapangan. Jam terbangnya yang cukup tinggi di dunia sepatu roda menjadi bekal untuk mengontrol dirinya saat bertanding. ”Kadang, tuh, kalau udah bermain, body contact sedikit aja emosinya bisa sangat meluap. Tapi aku selalu dikasih tahu untuk tenang. Kalau enggak, malah bisa didiskualifikasi. Jadi lebih nahan emosi aja saat di lapangan,” katanya. Namun, dari semua itu, yang paling penting menurut Ola adalah menjalaninya dengan senang. Tidak perlu terlalu terbeban. ”Yang penting lakukan yang terbaik. Enjoy. Hasil akhirnya apa, ya udah, berarti emang itu kehendak Tuhan,” ucap Ola. Berdoa, bagi Ola, juga menjadi hal penting. ”Tuhan bisa berkehendak apa aja. Bahkan, kalau udah doa sekeras apa pun, kalau Tuhan berkehendak, kita enggak bisa ngapa-ngapain juga. Yang penting tawakal aja, tapi berusaha kerja keras. Kalau enggak ada doa, setiap latihan itu bisa terjadi apa aja, jatuh, cedera, atau apa pun yang kita enggak mau terjadi,” ungkapnya. Sepatu roda sudah menarik perhatian Ola sejak duduk di kelas I SD. Saat itu, tahun 2012, Ola kecil yang tengah berolahraga di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno melihat ada komunitas sepatu roda. Dia lalu tertarik mencoba. ”Anak kecil, kan, sukanya kenceng-kencengan gitu, lari-larian. Wah, ini (sepatu roda) keren juga bisa kenceng-kencengan,” kenang Ola. Mengikuti jejak sang kakak, Ola pun lalu bergabung di Klub V3 (Vini Vidi Vici). Kedua orangtuanya sangat suportif. Selama Ola enjoy melakoninya, mereka mendukung. ”Pas baru masuk, pemula, latihannya tiap weekend. Lalu pas naik ke standar, jadi seminggu empat kali,” ujar Ola. Kala itu, Ola kecil sempat kerap ogah-ogahan. Kadang dia mau latihan, tak jarang juga hanya melihat orang berlatih saja. ”Sampai akhirnya aku kalah di suatu perlombaan. Dari situ aku merasa pengin menang. Akhirnya mulai serius latihan,” papar gadis dengan tinggi badan 165 cm dan berat 56 kilogram ini. Dia menanamkan tekad untuk tak lagi malas atau bermain-main belaka. Apalagi jarak rumahnya di Bekasi kala itu dan tempat latihan di Senayan cukup jauh. Dia tak ingin mengecewakan sang mama yang setia menemaninya latihan. Kemenangan pertamanya diraih dalam sebuah lomba sepatu roda di Serang, Banten. Dari situ Ola mulai ”kecanduan” menang. ”Sekalinya menang, kan, merasa puas sama diri sendiri. Jadi semangat latihan untuk terus menang,” terang Ola. Menjadi atlet kemudian menjadi pilihan Ola. Di klubnya, Ola menjadi anggota yang pertama kali lolos seleksi pelatda. Sayang, saat sudah serius berlatih, Ola terdepak dari pelatda karena alasan usia yang masih terlalu muda. Hal ini sempat membuatnya patah semangat hingga akhirnya Ola dipanggil kembali masuk pelatda. ”Nah, di situ aku bener-bener langsung nunjukin skill. Bahwa aku, tuh, pantas dan mulai pengin ke jenjang yang lebih tinggi lagi,” kata Ola. Di pelatda, Ola berlatih seminggu enam kali. Praktis istirahat hanya satu hari. Ola tetap semangat. Pengalaman mengikuti training camp di Taiwan tahun 2016 dan 2017 serta bergaul dengan atlet-atlet asal China membuat Ola belajar semakin banyak. Tak hanya soal keterampilan, tetapi juga soal disiplin diri. ”Atlet-atlet China itu, kan, disiplinnya tinggi banget, aku belajar juga dari mereka, lalu juga mulai improve diriku sendiri,” kata Ola. Semua itu dibuktikan di ajang PON XX Papua dengan hasil fantastis. Dengan sepatu rodanya, Ola meluncur seolah tak terbendung menyabet lima emas. Seusai PON, tak ada kata santai. Selain kembali fokus mengejar ketertinggalan di sekolah, Ola juga tengah menantikan seleksi Asian Games 2022 yang akan berlangsung pada Desember 2021. Latihan-latihan ringan sudah mulai dilakukan. Ola menyimpan harapan agar kelak sepatu roda dipertandingkan di Olimpiade. Jika rumor itu terbukti benar, Ola tentu akan bersiap ambil bagian. ”Kalau misalkan memang bener, target jangka panjangnya, ya, … Read more