Si Kecil Cabe Rawit, Julukan Untuk Falen Atlet Tenis Berusia 8 Tahun

Falen, murid didik dari Jakarta International Tennis Academy.

Jakarta- Olahraga Tenis mungkin belum sepopuler olahraga lain seperti sepak bola, futsal, basket maupun badminton, meski demikan ada beberapa kalangan yang cukup menyukai cabang olahraga ini. Jakarta International Tennis Academy (JITA) adalah salah satu dari sekian banyak sekolah tenis di Jakarta yang sukses mengantarkan anak didiknya untuk bertanding di ranah nasional maupun internasional. Falen salah satunya, anak berusia 8 tahun tersebut meski terbilang usianya masih amat muda namun kemampuannya dalam memukul bola tenis di lapangan tak perlu diragukan lagi. Menurun dari hobi sang ayah yang juga menjabat sebagai pelatih tenis di JITA, sang anak justru memiliki ketertarikan dengan olahraga tenis saat usianya masih berusia 2 tahun. “Saat itu masih 2 tahun mulai penasaran dia sama raketnya, saya coba lemparkan ke anak bolanya malah dipukul. Akhirnya ketika umur 3,5 tahun baru saya kenalkan pelan-pelan, karena 2 tahun masih terlalu kecil ya” ungkap Sebastian, ayah dari Falen. Sebelum bergabung dengan JITA, Falen mulai berlatih dengan sang ayah dan kakak karena kebetulan sang kakak memiliki hobi yang sama. Mulai bergabung dengan JITA saat umurnya 3 tahun, Falen masih mengikuti latihan sesuai usia dan kemampuannya. Ketika berusia 5 tahun barulah terjun mengikuti turnamen perdananya namun sayang hanya sampai posisi Runner Up saja. “Sekitar umur 4-5 tahun mulai main di turnamen internal kita dulu, anaknya makin senang. Setelah dirasa cukup mumpuni baru terjun kejuaraan” tambah sang ayah. Saat ini anak kelahiran 1 Maret 2010 tersebut masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar, namun dalam usia semuda itu Falen ternyata memiliki jadwal yang sangat padat untuk belajar di sekolah sekaligus berlatih Tenis. Selain itu oleh pihak sekolah Falen juga  mengikuti ekstrakulikuler Baske dan Renang “Bisa dibilang sangat sedikit waktu istirahatnya, tapi anaknya senang. Saya suruh istrahat malah marah-marah anaknya” tambah Sebastian. Namun yang dikhawatirkan ketika Falen akan merasa jenuh dengan segudang aktivitasnya, bahkan ketika akhir pekan Falen menghabiskan waktu 6 jam di JITA untuk berlatih, tak ayal lagi bahwa peran orang tua sangat diperlukan dalem menjaga keseimbangan aktivitas dan kesehatannya. Kerap kali sang anak diberikan multivitamin dan makanan yang bergizi agar kondisinya tetap terjaga, dengan waktu latihan dan jadwal aktivitas yang tergolong padat, agar berhasil membuahkan segudang prestasi yang dibawanya pulang. “Sejauh ini masih bisa dikondisikan, aktivitasnya saya atur agar tetap fit. Latihan pun ringan saja paling joging, skiping aja saya suruh 500 dia bisa sampai 3000 kali” ujar pelatih sekaligus ayah Falen seraya bergurau. Harapan yang disampaikan sang ayah adalah semoga Falen bisa menjaga konsistensinya hingga usia 12 tahun, agar Ia bisa bisa menjadi atlet top nasional bahkan internasional. (Ham) Profil Singkat Nama : Rafalentino Ali Da Costa Tempat/Tgl Lahir : Tangerang Selatan, 1 Maret 2010 Orang Tua : Sebastian Ali Da Costa (ayah) Dwi Komala Sri (ibu) Nomor Ponsel : 087771556829 (ibu) Anak kedua, kakak Justmin Ali Da Costa Pendidikan SD Al-Fath BSD, Tangerang Prestasi KU 8: Sportama Orange 2015 – RUNNER Up KU 10: AFR 2017 – SEMIFINAL KU 10: CBR 2017 – SEMIFINAL KU 10: Sportama 2017 – Semifinal KU 10: Thamrin Cup 2018 – SEMIFINAL KU 10:BNI 2017 – RUNNER Up KU 10:AFR 2017- RUNNER Up KU 10:AFR 2017- WINNER KU 10:CBR 2017- WINNER

Jakarta International Tennis Academy Bangun Karakter Petenis Muda Berprestasi Internasional

Jakarta International Tennis Academy (JITA) konsisten membangun karakter bibit-bibit petenis muda berbakat dengan prestasi internasional. (Pras/NYSN)

Jakarta- Berawal dari mimpi seorang bernama Goenawan Tedjo, Jakarta International Tennis Academy (JITA) konsisten membangun karakter bibit-bibit petenis muda berbakat dengan prestasi internasional. Bergabung dengan JITA, artinya setiap anak ditempa dengan berbagai metode pelatihan untuk membentuk kemampuan fisik, teknik, karakter, serta membangun mental juara. “Visi dan misinya adalah ingin membentuk pemain dengan prestasi internasional. Tetapi, dasarnya adalah membangun karakter melalui tenis. Sehingga tidak hanya mencetak juara. Namun yang ditekankan adalah juara dengan karakter baik,” ujar Goenawan, Founder JITA, di Kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Karakter pertama yang harus dimiliki yakni sportif, sopan, dan memiliki respect terhadap lawan, wasit, pebimbing, pelatih, dan terpenting orang tua. Sebab saat mereka jadi pemain top, maka akan menjadi idola generasi muda. Dan, idola itu harus memiliki karakter yang bagus. Sebab akan menjadi panutan “Kadang-kadang, ada anak yang tidak mau ditonton sama orang tuanya. Itu tidak boleh terjadi disini. Mereka harus punya respect pada orang tua. Sebab, orang tua yang membiayai mereka untuk bergabung disini,” lanjut pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 4 Agustus 1961 itu. Kini, JITA telah memiliki banyak petenis binaan. Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai lebih dari ratusan petenis. Awalnya, akademi ini bernama Goenawan Fans Tennis Club, hingga berganti nama menjadi JITA pada 2005. Perubahan nama itu bukan tanpa alasan. Selain warga negara Indonesia (WNI), petenis binaan JITA sekitar 35 persennya adalah berkebangsaan asing. Bahkan, sebagai dari mereka sudah mulai berlaga di berbagai turnamen tenis internasional. “Di level junior nasional, petenis binaan JITA banyak berprestasi dan mengisi slot rangking 1 hingga 10. Mereka bermain hingga SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), lalu melanjutkan ke Universitas. Ketika mereka kuliah mendapatkan sponsor atau scholarship. Disini itu cukup banyak,” tambah pria penyuka kuliner Indonesia itu. Disisi lain, minat generasi muda terhadap tenis, diakui pria yang juga memiliki hobi bermain golf itu, sat ini agak menurun. Namun, itu jadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara jasa seperti JITA. “Bagaimana caranya membuat suasana pelatihan menjadi menarik. Dengan begitu mereka tetap memprioritaskan tenis dibandingkan dengan pilihan yang lain. Karena saat ini kami berkompetisi dengan gadget. Ini menjadi tantangan untuk mereka bisa tertarik datang ke outdoor untuk bermain tenis,” tuturnya. “Terkadang orang mengajar saja, namun suasananya membosankan. Sehingga minat dan ketertarikan mereka terhadap tenis makin turun. Itu yang kami terapkan di JITA, maka jumlah petenis binaan disini tetap stabil,” urai pria yang mulai mengajar tenis sejak 1981 itu. Sementara, demi menghasilkan petenis berkualitas, Goenawan mengkritisi dukungan pemerintah. Ia berharap minat pemerintah dalam mendukung olahraga di Tanah Air terus meningkat. “Sejauh ini pemerintah telah memberikan dukungan bukan hanya tenis. Tapi, dukungan itu belum cukup. Kalau mau berprestasi sampai level Asia saja itu masih kurang, apalagi dunia. Bukan pemerintah tidak membantu, memang masih sangat kurang,” tukasnya. “Contoh Singapura. Meski negara kecil, namun pemerintahnya mengalokasikan dana untuk olahraga sangat besar. Hasilnya, mereka membangun fasilitas dan sarana olahraga yang bagus. Boleh dibilang mewah dan lengkap. Dengan begitu maka orang-orang akan lebih senang berolahraga,” ungkapnya. Selain itu, menurutnya, iklim ber kompetisi yang rutin, menjadi sarat mutlak bagi seorang petenis, agar mampu dan bisa bersaing di level permainan yang lebih tinggi. “Mereka harus travelling ikut pertandingan ke luar negeri. Tapi untuk apa? Tentu semua perlu biaya. Terkadang ada atlet yang menang di PON (Pekan Olahraga Nasional) dapat bonus uang. Dan, jangan hanya disimpan, tapi itulah yang dipakai untuk membiayai dirinya mengikuti pertandingan ke luar negeri,” jelasnya. Dengan rutin bertanding di luar negeri, peringkatnya naik dan permainannya makin bagus. Maka profit akan mengikuti. Bagi Goenawan, mengandalkan pemerintah dan ponsor sangat sulit. Dikatakannya, pengalaman dan jam terbang sangat utama. Bila dahulu banyak bermunculan klub-klub tenis besar, namun saat ini kondisinya sudah berbeda. “Harapannya muncul kembali liga antar klub. Ini bisa menggairahkan minat dari para petinggi perusahaan untuk mendirikan klub serta membina para pemainnya. Kalau saat ini belum ada, maka tiap individu-individu itu harus pintar mengelola keuangannya,” tutup ayah empat anak itu. (Adt)